Pada pembukaan di pidato ini, Soekarno memulainya dengan
menyapa ketua BPUPKI dengan panggilan Paduka tuan Ketua
dan mengucapkan terimakasih untuk kesempatan yang diberikan kepadanya dalam
mengemukakan pendapatnya sendiri. Soekarno
berpendapat bahwa pada saat mereka sidang tentang upaya kemerdekaan bangsa
Indonesia, mereka hanya membahas dan mementingkan hal-hal kecil dan sepele.
Soekarno pada waktu itu juga menyebutkan bahwa semua yang telah dibahas
tersebut terlalu “njlimet” kata orang Jawa. Terlalu kompleks. Ia pun
membandingkan dengan negara-negara tetangga dan negara-negara Eropa yang
merdeka tanpa membahas hal-hal tersebut. Ia juga memperumpamakan negara yang
ingin merdeka itu seperti orang yang ingin kawin. Ada yang masih takut karena
masalah keuangan dan ada juga yang
langsung berani kawin tanpa memikirkan resiko yang ada di depan mata.
Ia juga mengomentari pembicara sebelumnya yang
menyatakn bahwa bangsa Indonesia ini masih belum sehat. Banyak orang yang
terkena berbagai macam penyakit menular yang membahayakan, seperti malaria.
Soekarno berpendapat jika kita masih menyelesaikan masalah orang-orang yang
terkena penyakit malaria ini, maka kemerdekaan bangsa Indonesia akan ditunda
selama 20 tahun. Tidak bisa kita bayangkan bukan? Jika hal itu terjadi, maka
tahun ini umur Indonesia dari kemerdekaan hanyalah 49 tahun. Di dalam pidato
ini juga ia menyemangati rakyatnya untuk tidak gentar dalam memperjuangkan
kemerdekaannya. Karena kemerdekaan itu adalah dasar dan penting bagi kesejahteraan
rakyat Indonesia. Ia juga menyebutkan banyak istilah bahasa asing yang ia
ketahui untuk memperkenalkan apa yang terjadi di negara-negara yang telah
merdeka kepada rakyat Indonesia.
Soekarno mengemukakan bahwa ia sependapat dengan dr.
Soekiman dan Ki Bagoes Hadikoesoemo tentang kemerdekaan itu adalah mencari
hal-hal yang sama-sama kita setujui untuk kebersamaan rakyat semua. “Apakah
kita hendak mendirikan Indonesia merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu
golongan?” ujar Bung Karno untuk menyatukan tujuan rakyat agar tidak
mementingkan kepentingan golongan daripada kepentingan rakyat Indonesia. Di
dalam pidato tersebut ia juga mengemukakan 5 prinsipnya dalam memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia, yaitu:
1. Kebangsaan Indonesia
2.
Internasionalisme atau peri kemanusiaan.
3.
Mufakat atau demokrasi.
4.
Kesejahteraan sosial.
5.
Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha
Esa.
Prinsip
pertama, ia mengutip banyak kata-kata penting dari orang-orang berpengaruh yang
ia kenali, seperti syarat untuk menjadi suatu bangsa ialah kehendak untuk
bersatu dan persatuan antara orang dan tempat. Ia menyimpulkan bahwa bangsa
Indonesia bukanlah sekedar satu golongan orang yang hidup dengan "le desir
d'etre ensemble" diatas daerah kecil seperti Minangkabau, atau Madura,
atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh
manusia-manusia yang, menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh Allah SWT,
tinggal dikesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatra
sampai ke Irian! Seluruhnya!, karena antara manusia 70.000.000 ini sudah
ada "le desir d'etre enemble", sudah terjadi
"Charaktergemeinschaft"! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, ummat
Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah
menjadi satu, satu, sekali lagi satu!
Prinsip
kedua, ialah pentingnya rasa kecintaan pada bangsa sendiri agar kita bisa
memperkenalkan diri dan bersaing dengan negara-negara lainnya. Oleh sebab itu,
perlu adanya tenggang rasa antar
manusia agar terjadinya integrasi pada suatu bangsa tersebut. Prinsip ketiga,
adalah perlunya musyawarah dalam merumuskan segala sesuatu yang berada di
bangsa itu. Karena semua rakyat itu harus mempunyai kebebasan dalam menyatakan
pendapat-pendapatnya. Prinsip keempat, tentang pentingnya kesejahteraan rakyat
Indonesia. Jikalau banyak kemiskinan di suatu bangsa bagaimana mereka bisa
mengatur bangsanya tersebut, padahal mengatur dirinya untuk tetap bertahan
hidup saja sudah susah.
Prinsip
kelima, berikut pernyataan Bung Karno,“Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan,
tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang
Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan
menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya
menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan.
Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah
Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara
kebudayaan, yakni dengan tiada "egoisme-agama". Dan hendaknya Negara
Indonesia satu Negara yang bertuhan” dengan pernyataannya itu menunjukkan bahwa
tuhan itu penting untuk dipercayai.
Di pidatonya ia memeras Pancasila menjadi Trisila dan Eka
sila. Trisila terdiri dari socio-nationalisme, socio-demokratie, dan ketuhanan,
sedangkan Eka sila adalah gotong royong. Di sana ia juga menyebutkan bahwa ia
telah berjuang untuk kemerdekaan bangsa ini sejak tahun 1918 sampai 1945. Ternyata
lama sekali beliau telah memperjuangkannya. Hal yang seperti ini patut untuk
dihargai bagi anak-anak muda zaman sekarang yang tinggal diam menikmati
kemerdekaan bangsa ini. Lalu, ia menutup pidatonya dengan mengobarkan api
semangat pada rakyat Indonesia untuk merdeka lewat kata-kata “Merdeka, -- merdeka atau mati”.